Jujur saja ya, saya belum
pengalaman menggunakan tespack dan kebetulan juga belum belajar tentang itu. Jadi
ketika saya dengar judul “Dua Garis Biru” pikir saya ya memang itu
mengisyaratkan kalau garis biru adalah pertanda positif hamil, ternyata kata
seorang teman bukakankah harusnya dua garis merah ya? Tahu ah, yang penting
nonton filmnya dulu. Setelah itu baru belajar tentang tespack. Wkwkwk..
Motivasi awal nonton “Dua Garis
Biru” karena lihat postingan Koh Ernest di IG-nya untuk nonton film ini katanya
keren banget, Pak Menteri Pendidikan harus nonton, anak dan orang tua harus
nonton karena tentang well sex education. Sebagai anak yang pernah SMA,
penasaran dong tentunya, dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke bioskop
ditemani seorang teman di tanggal 12 Juli 2019.
Harga tiket nontonnya
Rp.25.000,-, nggak mahal, yang mahal adalah pop cornnya, Rp.50.000,-. Penonton film
ini didominasi anak remaja SMP-SMA yang masing-masing bersama pasangannya
(pacar). Lho kok bisa tahu kalau itu pacarnya? Gimana nggak tahu, lhawong
mereka jalannya gandengan dan nyender-nyender gitu, sementara saya perhatikan
ekspresi si cowok seperti mikir berat gitu sambil jalan, mungkin kepikiran
total biaya tiket dan makan pop corn yang menghabiskan tabungan selama 2 bulan
nggak jajan kali ya.
Setelah nonton film ini, saya
lihat anak SMP SMA yang menonton malah tambah mesra aja sama pasangannya, ada
yang main gendong-gendongan di tempat parkir malah, dalam hati, “Ini anak kok
malah menjadi-jadi, apa tadi nggak ngelihat bagaimana konsekuensi yang harus
ditanggung jika terlalu berlebihan bergaul dengan lawan jenis?”.
Film dua garis biru ini diceritakan
dengan 2 anak SMA yang sudah lama berpacaran dan tanpa mereka sadari, mereka
terlalu jauh dalam berpacaran hingga terjadi kehamilan di luar pernikahan. Karena
dua anak tersebut adalah anak baik-baik dan dari keluarga yang baik, konflik
pasca tahu kehamilan masih memberi kesan bahwa hamil di luar nikah masih bisa
diselamatkan dan dimaafkan. Konflik dalam film yang begitu membuat sedih dan
miris penonton hanya di bagian ketika masing-masing orang tua tahu kalau anaknya
hamil dan menghamili. Di situ penonton bisa tahu bagaimana beban sosial yang
harus ditanggung orang tua, malu pasti, merasa gagal menjadi orang tua,
terpukul sampai tidak mau menerima kehadiran anaknya di rumah, dan berhenti
berjualan karena malu menjadi bahan gunjingan tetangga.
Selain sanksi sosial, masa depan
2 anak SMA tersebut juga menjadi salah satu konsekuensi yang harus ditanggung. Pasalnya
si cewek adalah siswa rajin dan cerdas, dia memiliki cita-cita untuk
melanjutkan pendidikan tingginya di Korea, dan karena kejadian memalukan
tersebut dia selalu bertanya-tanya apakah masih bisa mewujudkan citacitanya
untuk pergi ke Korea. Beruntung si lakilaki adalah anak baik yang mau
bertanggungjawab untuk menikahi, mencari pekerjaan dengan tidak sekolah, dan
selalu memberi support pada ceweknya untuk selalu belajar dan mewujudkan cita-citanya.
Karena usia ibu yang masih
terlalu muda, kehamilannya juga memberikan resiko tinggi untuk kesehatan ibu
dan bayi yang dikandungnya. Di film tersebut dijelaskan bahwa ibu harus bedrest
karena kandungannya masih rawan, dan ketika proses persalinannya pun mengalami
pengangkatan rahim karena pendarahan yang tidak berhenti.
Beberapa konsekuensi di atas
ternyata bisa dilalui dengan baik oleh kedua belah pihak keluarga. Menurut saya dan teman saya, film tersebut kurang
memberikan betapa berat sanksi sosial yang harus ditanggung pelaku dan keluarganya,
karena dalam film tokoh dan peran yang diceritakan terlalu baik, hingga konflik
yang timbul tidak seperti yang ada di realita yang ada. Sehingga kurang memberi
efek jera untuk remaja agar menghindari perilaku sex bebas.
Sisi positif dari film adalah
mereka menyajikan pesan bagaimana menjadi orangtua seharusnya ketika mendapati
anak yang sudah terlanjur terpuruk pada pergaulan bebas dan hamil di luar
pernikahan. Juga mengajari masyarakat dan lingkungan untuk tidak terlalu
memberikan gunjingan yang berlebihan karena biar bagaimanapun, selalu ada
kesempatan kedua bagi siapapun yang mau menyesali perbuatan masa lalunya dan
tidak mengulanginya lagi.
Bagus sih filmnya, pemainnya juga cantik dan cakep, humornya juga dapet, apalagi kalau ada Asri Welas meski cuma selingan bentar. Cukup menghibur karena saya sama sekali nggak sempat ngantuk nontonnya.
Pesan untuk adik-adik SMP-SMA, "Silakan nonton film Dua Garis Biru, tapi harus didampingi orangtuanya ya, jangan pacarnya."
Itu saja review asal-asalan ala proletarian
yang termarginalkan. Kalau tak cukup bermanfaat, mohon maafkan ketidakbermanfaatan yang saya ciptakan ini ... hehehe
Komentar
Posting Komentar