KEJUTAN DI TAHUN KE 22
“Brukkk….”
Suara hantaman selimut disertai hamburan debu tipis karena sudah berbulan-bulan
belum tersentuh air sama sekali. “Uhuukkk….huukk…, kotornya ini selimut.
Beratnya juga minta ampun.” Lirihku sambil terbatuk-batuk. Aku harus mencuci
selimutku yang dengan ketebalan sama dengan ketebalan perut teman tergemuk ku
di kampus.
“Raaaannnn!!!!!
Tolong dong ini laptop ku gak bisa dinyalain ini!” teriakan Gaby dari kamarnya
meminta tolong. Huhh… lagi sibuk-sibuknya nyuci selimut malah suruh benerin
alat gituan. Males sebenarnya, ya udah dari pada ntar dia ngomel-ngomel lebih
baik aku lihat dulu laptopnya.
“Apaan
sih Gab, lagi konsentrasi sama cucian malah ganggu aja kamu. Emang kamu apain
tuh laptop??”
“Ya
maaf Ran, abis ini makalah numpuk belum ngerjain sama sekali. Kalo laptop
ngandat gini kan aku bisa stress dadakan. Kamu mau aku gila??” jelas Gabby
sambil menampakkan tampang melas andalannya. “Ya ngga gitu juga, kalo kamu gila
pasti tambah nyusahin dah.” Jawabku kesal nyata.
“Ihh..kamu
Ran. Jahat banget. Gini, tadi itu nggak aku apa-apain, aku Cuma ngetik biasa
trus tiba-tiba mati. Padahal udah lumayan dapat dua halaman tadi. Trus aku
nyalain gag bisa-bisa. Kenapa ya Ran?” Jelas gabby panjang lebar sambil
cemas-cemas mau nangis. Lantas aku cek laptopnya, memang panas juga suhunya
kaya orang demam. Aku coba nyalain dan masih nggak mau nyala. Bingung juga,
belum pernah ku jumpai keluhan seperti ini. Jangan-jangan memang motherbootnya.
“Gab, ini memang nggak bisa nyala lho. Kalo udah kaya gini coba kamu bawa aja
ke servis laptop. Kamu pake laptopku aja dulu.” Ungkapku.
“Apa??
Harus ke servis dulu?? Dua lembarku sia-sia donk! Ya ampun Raanii…..huhuhu…”
gabby memang suka nangis. Kena masalah
dikit aja air mata udah kebelet mau keluar. Sebagai teman yang baik aku
berusaha menenangkan dengan memberikan solusi terjitu padanya. Putar otak
sambil lihat sekeliling. Dan,,,,, “Astagaaaaa Gaabbyyy….. apa-apaan kamu ini???
Ini apa?? Baterai kamu lepas. Barusan kan emang mati listriknya. Sampe
nenek-nenek juga ngga bakal nyala itu laptop Gabby. Aahh…kamu ini.” Ternyata
baterai dilepas dan diletakkan di atas kursi yang memang agak jauh dari meja
laptop Gabby.
Gabby
terkejut dan berhenti nangis, “Ohh..iya lupa Ran. Ternyata tadi aku lepas ya.
Hehehe…Alhamdulillah ngga jadi servis. Hehehe”
“Dasar
pikun. Udah ya aku lanjut nyuci. Awas kalo panggil-panggil lagi.”
*****
Ran,
kamu hari ini ada acara g? aku mau ajak kamu ke rumah. Gimana??
Itu
adalah pesan singkat pertama hari ini yang masuk di ponselku. Dari Mas Radit
temannya teman satu kampusku. Pesan pertama yang membuat jantung berdegup lebih
kencang dari biasanya. Pesan pertama yang membuat seolah-olah nggak boleh pesan
lain masuk di ponselku kecuali pesan dari Mas Radit. Memang belum aku balas,
rasanya kepingin sholat istikharah dulu untuk membalasnya. Seperti
selayaknya anak kos, aku punya teman sekamar yaitu Gabby tadi. Aku cerita
tentang ini, siapa tahu dia bisa kasih pencerahan aku harus bilang apa ke Mas
Radit.
“Cieee…Rani.
Ceritanya mau ke rumah camer nih. Udah, balas iya aja. Mau banget Mas. Gitu
loh. Ini kan yang kamu inginkan dari dua minggu yang lalu.” Gabby sangat serius
menanggapi ini entah kenapa.
“Iya
juga sih, tapi kan belum siap akunya. Aku sama Mas Radit nggak ada hubungan apa-apa.
Ntar kalau ditanya orangtuanya gimana coba? Aku temannya gitu?” memang aku sama
Mas Radit baru kenal 2 bulan. Dan lumayan dekat baru 3 mingguan ini. Mas Radit
memang sosok lelaki yang membuatku nyaman. Kita sering bertemu di halte bus,
karena tiap aku ke kampus dia berangkat kerja.
“Ya
nggak masalah. Bilang apa adanya gitu aja. Gampang. Biasa wae, paling
nggak kamu tahu gimana orangtua nya Mas Radit dan mereka tau gimana kamu yang
sebenarnya. Biar nanti ke depannya lebih jelas mau diapain kamu sama Mas Radit
nya. Iya nggak? Kalau kamu nggak mau balas, biar aku aja sini HP mu.” Tiba-tiba
gabby rebut HP ku dan langsung dia kirim itu apa yang dia katakana. Ya aku
hanya bisa pasrah karena itu juga mau u dan tersenyum bahagia karena ini
artinya Mas Radit ada usaha untuk lebih serius lagi dengan ku.
OK.
Ntar aku jemput di kosmu jam 9 aja ya.
Siap-siap
dulu sana!
Yang
cantik ya! Hehe
Aku
beranjak dari kamar ambil handuk karena jam sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB.
Mas Radit apa benar-benar mau serius dengan ku?? Itu yang selalu aku pikirkan
sambil siap-siap memperpantaskan diri untuk menghadap orang tuanya. Selama ini
aku belum pernah dekat dengan cowok manapun. Meskipun banyak teman cowok tapi
tidak ada yang dekat seperti aku sama Mas Radit saat ini. Jadi bisa dibilang
pengalaman tentang asmara masih sangat minim. Tapi bukan berarti aku menjadi
sosok wanita yang mudah kena rayuan para lelaki buaya. Dan akupun masih selalu membatasi perasaan
nyaman dan kagumku pada Mas Radit. Aku tidak ingin nanti perasaanku terlalu
berlebihan yang nantinya berujung pada segala kemungkinan yang tak enak
dibayangkan.
Akhirnya
dengan mengenakan dress hijau tosca panjang kesayangan, aku berangkat ke rumah
Mas Radit dengan perasaan was-was. Takut kalau orang tua nya galak seperti di
sinetron-sinetron TV. Jangan-jangan nanti ditanya resep makanan, padahal nggak
bisa masak. Atau nanti ditanya tentang rumus persamaan kuadrat mengingat Mas
Radit pernah cerita kalau Bapaknya adalah guru Matematika SMA. Aduuhh…kenapa
Mas Radit nggak bilang dari jauh-jauh hari. Kalau tahu begini kan tadi malam
aku belajar. Nervousnya udah kaya mau ujian nasional. Ya Allah…. All is
well. Bismillah….
***
Setelah
menempuh waktu 30 menit an kita sampai di ujung jalan menuju rumah Mas Radit.
Di sepanjang jalan banyak orang berlalu lalang sambil mengenakan pakaian
hitam-hitam. “Mas, kok rame gini jalannya. Ada yang meninggal ya tetangga kamu
Mas?” Tanyaku penasaran. “Nggak tau juga Ran, tadi aku berangkat dari rumah
saudara ku soalnya tadi malem suruh bantu ngerjain bahan buat presentasi. Jadi
aku belum ke rumah.” papar Mas Radit yang juga keheranan dan tidak tahu.
“Ohh..gitu. Trus mereka kok ngeliatin kita sih Mas? Aku jadi nggak enak.”
Karena memang setiap orang lewat pasti melihat kita dengan tatapan yang tak
biasa. Kemudian Mas Radit membuka kaca helmnya dan memelankan kecepatan sepeda
motornya.
Dari
kejauhan sudah terlihat sumber keramaian para warga yang kemungkinan mereka
bertakziah. Di sebuah rumah dengan dinding warna biru tua ternyata sedang
berduka dan aku tidak tahu itu rumah siapa. Mengetahui itu, Mas Radit
gemetaran, spontan mengucap, “ya Allah..Bapak Ibuk?? Kenapa ini Ran?” aku masih
kebingungan tak mengerti apa maksud Mas Radit. Apa mungkin itu rumahnya.
Seketika itu kecepatan ditambah menjadi 60km/jam. 1 menit kita langsung di
depan rumah tersebut. Mas Radit tanpa mengucap sepatah katapun padaku.
Ketika
turun dari motor, lelaki separuh baya memeluk Mas Radit, “Dit, kamu emana aja
Nak? Bapakmu Dit, bapak udah pergi.” Aku sangat kaget mendengar kata-kata om
nya Mas Radit. Tanpa mengucap sepatah katapun Mas Radit langsung tak sadarkan
diri. Tak sadar juga air mataku ikut keluar. Dan aku pergi menghampiri Ibu Mas
Radit yang duduk di samping jenazah suaminya.
Kami berjabat tangan dan aku memberitahukan kalau namaku Rani kemudian
Ibunya memelukku sambil menangis dan berkata, “Nak, kamu Rani yang sering
diceritakan Radit kan? Padahal Bapaknya Radit ingin sekali bertemu denganmu
Nak. Tapi ternyata bapak pergi lebih dulu.”
“Iya
Bu, Ibu yang sabar dan tabah ya. Masih ada Mas Radit yang nanti menemani Ibu.
Biarkan bapak tenang di sana, kalau ibu sedih bapak nggak akan tenang di sana.
Ibu yang sabar.” Tuturku.
***
Hari
hari setelah kepergian bapak Mas Radit jadi sedikit berbeda. Biasanya Mas Radit
sering kasih kabar, paling nggak sehari sekali pasti ada kabar. Sekarang sering
aku yang memulai telpon ke dia. Mas Raditpun sedikit cuek sikapya. Tidak
seperti biasa. Apa mungkin masih terbawa suasana dan masih kangen sama
bapaknya. Semoga saja seperti itu. Aku berusaha mengerti dia. Kupilih untuk
lebih diam saja, karena setelah itu mas radit nggak pernah cerita tentang keluh
kesahnya selama ditinggal bapaknya ke aku. Akupun tau diri, aku nggak berhak
memaksanya untuk selalu bercerita toh akupun juga bukan apa-apanya.
Sudah
40 hari kepergian bapak Mas Radit. Gabby memintaku untuk pergi ke rumahnya
sebagai teman Mas Radit yang pada saat meninggalnya juga iut hadir di sana dan
lagi pula ibunya juga sudah mengenalku. Tapi aku ragu karena Mas Radit juga
tidak memintaku untuk dating. Apa aku berhak dating ke sana kalau nanti
ternyata Mas Radit tidak menginginkan kedatanganku. “Ayolah Ran, kamu pergi ke
sana tidak untuk Si radit kok. Untuk ibunya, nanti jangan temui radit. Langsung
ke ibunya saja. Nggak enak juga kalau kamu nggak ke sana.” Gabby membujukku.
“Iya
deh. Aku berangkat. Kamu ikut ya tapi??”
“Aku
juga?? Boleh deh.”
Sesampainya
di sana, kita disambut Mas Radit karena memang kebetulan dia berada di depan
rumahnya.
“Mas,
gimana kabarnya?” sapaku basa basi karena kita belum bertemu semenjak
meninggalnya bapak.
“Alhamdulillah
baik Ran. Masuk aja ibu di dalam.” Balasnya sambil berlalu seperti ada yang dia
tuju di lain tempat.
Aku
dan Gabby masuk dan ngobrol banyak dengan ibunya Mas Radit. Sudah 1 jam ngobrol,
kitapun memutuskan untuk pulang dan Mas Radit juga masih kelihatan sibuk. Jadi
kita tidak bisa ngobrol dengannya.
***
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Ran,
maaf ya selama ini q tdk pernah kasih kabar atau Tanya kabar tentang qm.
Dan
skrg kita jd jarang komunikasi. Maaf.
Dan
ini mungkin terakhir q sms kamu Ran. Q minta mf kalo selama ini ada salah.
Maaf
Ran.
Wassalam
Itu
adalah pesan singkat pertama yang masuk di HP ku hari ini. Serasa begitu pedas
kata-kata yang diketik oleh mas radit, saking pedasnya mata tak henti-henti
mengeluarkan air mata. Begitu gampangnya Mas radit berkata demikian, meskipun
selama ini kami tidak ada hubungan apa-apa setidaknya kasih alasan lah kenapa
dia berbuat seperti ini. Apa yang salah dengan ku? Apa pernah aku menyinggung
perasaannya? Ibunya juga masih bersikap baik padaku, bahkan sangat senang
melihat kedatanganku di acara 40 hari ayah mas Radit kemarin. Ku coba untuk
tetap bisa menerima keputusan Mas radit, meski sesekali menangis. Menangis
bukan untuk kehilangan sosok Mas radit ataupun menangisi kekosongan yang
kembali kurasakan, tetapi menangis untuk menyesali sesuatu yang pernah ku
lakukan sehingga membuat Mas Radit berbuat demikian kepadaku dan akupun tak
mengerti apa itu.
“Gabby,
apa aku pernah menyinggung perasaan Mas Radit sehingga ini yang dia lakukan
padaku? Atau aku pernah menyakiti hatinya, atau kepergian bapaknya yang membuat
dia menjauhiku seperti ini?” tanyaku pada Gabby yang sedang membaca pesan
terakhir Mas Radit untuk ke-50 kalinya.
“Memang
bener-bener brengsek radit itu. Seenaknya aja ninggalin cewek tanpa
alasan. Meskipun kalian nggak ada hubungan apa-apa ya seharusnya kasih alasan
yang jelas lah.” Jawab dia emosi.
“Yaah…kamu
ini malah bikin aku makin tersakiti aja. Udah lah..mau ke kampus dulu.”
Sekarang
ke kampus aku lebih pilih nebeng Fani, teman sekelasku. Karena aku nggak mau
nanti kalau ngebus ketemu dengan mas radit di halt seperti biasanya. Biarlah
aku lupa dengan sendirinya. Keadaan seperti ini aku ambil hikmahnya aja, yaitu
aku lebih rajin dan semangat ngerjain tugas karena sering cari kesibukan esana
kemari biar nggak inget sama Mas Radit. Yang biasanya tugas makalah seminggu
sebelum presentasi baru tersentuh, sekarang ketika dosen kasih tugas malamnya
langsung u selesaikan. Hebat kan ya?
***
“Gabby,
bisa jemput aku nggak di kampus jam 10? Fani sakit tadi, dia pulang duluan.”
Pintaku menelepon Gabby.
“Ahh…aku
nggak bisa Ran. Ini lagi ada rapat karyawan. Naik bis aja kenapa sih? Ntar aku
tratir deh.” Jawab Rani sambil berbisik. Gabby memang selalu begitu, tiap dia
ngrasa bersalah pasti dia ngasih makan gratis.
1
jam kemudian aku beranjak ke halte bus yang tidak jauh dari kampusku. Di jalan,
aku hanya berdoa semoga nggak ketemu Mas Radit di sana. Semoga saja, dan
kemungkinan tidak bertemu karena ini baru jam 10.00 WIB dan pastinya belum
pulang kerja. Alhamdulillah…tenang. Sesampainya di halte, aku kaget bukan main.
Mas Radit sudah duduk di tempat biasa dia duduk dan biasanya kita sering
ngobrol di situ. Seketika aku membalikkan badan dan duduk di pinggiran taman
yang tak jauh dari halte tersebut. Tak ku sangka aku sangat sedih melihatnya,
dan tak kuasa menahan emosi tiba-tiba aku menangis. Ku putuskan untuk naik bus
kedua setelah bus yang ditumpangi Mas Radit berangkat.
***
“Ran,,bangun
donk!” ku dengar suara bisikan yang sangat dekat dengan daun telinga ku. Dengan
terpaksa kubuka mata perlahan-lahan, ternyata bisikan itu berasal dari mulut
Gabby. Sudah ku duga.
“Ada
apa Gab? Ngantuk banget…penting nggak?” suaraku sedikit mendesah karena memang
belum begitu sadar dari bangun tidur panjangku.
“Ran,
ini Mas Radit sms ke no ku. Kamu baca sendiri deh. Aku sebenarnya nggak tega
ngasih tau kamu. Tapi sebagai sahabat, aku harus menyampaikan ini supaya
kegelisahanmu selama ini terjawab dan kamu bisa kembali normal meskipun sedikit
terluka.” Bisiknya lagi.
“Haaa??
Mas Radit lagi? Mana sms nya?” mataku terbuka lebar dalam sedetik. Dan
kesadaranku kembali normal.
“Ini,
bacaya pelan-pelan dan kamu jangan nangis lagi.” Sambung Gabby sambil
memberikan HP nya padaku.
Gabby,
sbnrnya q slma ini sengaja menjauhi Rani.
Karena
kepergian bapakku gab.
Bapak
pergi ketika q menjemput Rani. Q merasa anak durhaka krna d’saat terakhir bpak
q malah pergi dg Rani. Dan untk menebus rasa bersalahku aku hrus menjauhi Rani.
Ini sdh keptsanku. Maaf.
Karena
kamu teman dkatnya q mhon smpaikan ini padanya.
“Ini
sms nya Gab? Tega bener dia nulis kaya gini ke aku. Apa aku penyebab bapaknya
meninggal, kan nggak. Itu sudah takdir yang di atas. Trus kenapa imbasnya harus
ke aku? Bilang aja kalau dia udah punya cewe yang lebih cantik dariku. Gitu aja
pake alasan kaya gini. Hiks…..huhuhu” Tuturku panjang kali lebar dan aku masih
saja menangis untuk kesekian kalinya. Iyalah, aku wanita biasa yang selalu
menumpahkan keluh kesahnya dengan luapan tangisan. Dan memang pesan Mas Radit
ini benar-benar membuatku sakit hati. Seolah-olah saat kepergian bapaknya itu
memang gara-gara aku.
“Aduh….sini-sini
sahabatku. Udaah jangan nangis lagi. Ini bukan tentang dia atau kamu yang
salah. Ini tentang kelapanganmu menerima keputusan Mas Radit Ran. Terima aja,
dan kamu pikirkan masa depanmu tanpa menoleh lagi ke Mas Radit ya. Masih banyak
cowo di kampusmu yang lebih cakep dari radit. Ya nggak?hahaha…”kata Gabby
berusaha menenangkanku sambil memelukku agar aku berhenti nangis.
***
Selasa,
3 Maret 2015 adalah tanggal di kalender untuk hari ini. Ya, di hari ini aku
genap berusia 22 tahun. Selayaknya orang lain, aku menanti-nanti datangnya hari
ini. Berharap ada kejutan manis dari sahabat terdekat ataupun orang special.
Tapi untuk kejutan dari orang special sudah tidak mungkin, karena memang aku
nggak punya sosok special di hati. Banyak ucapan ku terima baik itu di social
media ataupun SMS dari teman. Dan Gabby teman satu kamarku hari ini dia di
rumah, kemarin pulang karena mengambil tas ransel yang nanti buat hiking
bersama kawan-kawan kerjanya. Mungkin dia sibuk jadi nggak ingat kalau ini hari
ulang tahunku. Tak berapa lama kemudian, ada orang mengetuk pintu kamarku.
“Tok…tok…tok…Ran,
buka pintunya donk! Tumben dikunci!” suara yang sudah tidak asing di telinga.
“Iya
Gab, bentar.” Ku buka pintu untuk Gabby.
“Happy
Birthday Rani…..” dia tiba-tiba masuk sambil berteriak. Seneng bisa dapat
kejutan kayak gini. Tapi ada yang aneh dari Gabby…di belakangnya ada cowok
berdiri dengan berbalik badan jadi kurang jelas siapa dia itu.
“Makasih
Gabby…kamu memang nggak pernah lupa ya. Eh, itu siapa sih? Suruh masuk sini.
Temanmu kah?” tanyaku penasaran.
“Oh
iya..biar aja dulu. Dia temanku tapi dia pemalu Ran. Kamu masuk dulu tolong siapin
kopi sana buat temanku ini ya? Aku mau bicara sebentar sama dia.” Papar Gabby.
“OK!”
langsung aku masuk kamar membuat segelas kopi untuk teman baru Gabby.
5
menit kemudian aku mengantar kopi pesanan Gabby untuk temannya. Tapi temannya
tidak bersama Gabby. Entah kemana perginya.
“Lho..temanmu
pulang? Ini dibuatin kopi. Gimana sih?”tanyaku kesal karena repot-repot
dibikinin kopi malah pergi.
“Katanya
sih cari rokok di warung depan. Penasaran ya kamu Ran? Pasti kepo kan? Tenang
aja dia bukan cowokku kok. Hahahaaaa….”jawab Gabby kegirangan. Entah apa yang
membuat dia girang begini. Seperti ada yang disembunyikan dari Gabby.
Dan
tiba-tiba ku rasakan hal yang berbeda, masih belum pernah kualami. Ini
pertamakali aku merasakan seperti ini. Dekapan hangat dari belakang tubuhku.
Spontan aku membalikkan tubuh ingin tahu siapa yang dengan berani memelukku
seperti ini. Dan ternyata dia, dia yang memelukku, pelukan yang dia lakukan
begitu penuh kehangatan. Begitu nampak jelas ini begitu dari hati, kulihat
sorot matanya yang lembut menatap mataku pula dengan tajam. Mata kita berdua
bertemu, dan dia masih tidak mengatakan apapun. Justru semakin erat dekapannya.
Aku pun tak kuasa menahan haru, sampai lidah juga tak kuasa bergerak untuk
mengucap sepatah atau dua patah kata. Hanya rasa bahagia yang kini aku rasa.
Ternyata aku sudah hanyut dalam suasana. Hanyut kulampiaskan dengan semakin
deras meneteskan air mata sambil menopangkan kepala di bahunya. Aku menangis
semakin keras, ku peluk erat pula tubuhnya. Sudah tak ku hiraukan Gabby di
belakangku. Dan tiba-tiba…
“hey…sudah
mesra-mesraanya. Nggak lihat apa di sini ada orang. Mentang-mentang lagi kangen
dunia kaya milik kalian aja.” Teriak gabby menyadarkan kami berdua. Ku lepas
dekapan tangannya dan menoleh kebelakang.
“Ahh…kamu
Gab. Iya deh. Maaf ya…abis aku kangen banget sama temenmu ini. Udah 3 bulan
nggak kasih kabar. Kamu kemana aja Mas?” tanyaku pada cowok yang memelukku,
yaitu Mas Radit.
“Surprisse
donk. Maaf ya Raniku sayang, aku sudah 3 bulan ini menjauhimu. Dan memang kamu
tau sendiri aku baru saja tertimpa musibah, dan memang saat itu aku masih
terpuruk syok dengan kepergian bapakku yang sangat mendadak. Memang aku sengaja
untuk tidak menghubungimu selama 1 minggu, karena aku masih belum bisa menerima
kenyataan. Takutnya nanti kamu malah aku jadikan pelampiasan ketidakterimaanku
dan nanti kamu malah sakit hati. Dan setelah itu sebenarnya aku kangen banget
sama kamu, tapi setelah tau sebentar lagi ulang tahun jadi sekalian aku buat
sedikit drama ini. Dan juga aku mau tahu, diantara kita berdua bisa nggak
menjaga komitmen kalau memang kita punya rasa satu sama lain. Dan ternyata,
kamu selama 3 bulan ini belum punya hubungan dengan cowok lain. Itu artinya,
rasa cintamu memang hanya untuk Mas radit seorang. Udaahh…ngaku aja.” Tutur Mas
radit panjang, tapi itu membuatku tambah saying sama dia. Tapi jengkel sih,
ternyata selama ini aku sering nangis-nangis Cuma scenario buatan Mas Radit.
Udah kayak sinetron aja jadinya.
“Dan
maaf Rani, kamu nggak usah bicara dulu. Aku tahu kamu pasti shok berat.
Sekalian aku mau katakan kalau aku bener-bener sayang sama kamu Ran. Dan 3
bulan menahan untuk tidak menghubungimu adalah hal tersulit bagiku. Tapi itu
semua terbayar dengan kebahagiaan hari ini, ibu juga sangat menyukaimu dari pertama
kali bertemu. Jadi, mumpung di sini juga ada Gabby, biar dia jadi saksi kita
berdua Ran. Rani, aku ingin hubungan kita serius. Dan aku ingin kita menikah,
mengingat aku sudah bukan anak ABG lagi. Kamu pasti mau kan menikah dengan ku?”
Bahagia
banget mendengar apa yang diucapkan Mas Radit tadi. Ternyata selama ini semua
adalah ulah Mas Radit yang ingin memberikan kejutan dihari ulang tahunku. Rasa
jengkel tiba-tiba hilang tergantikan dengan kebahagiaan yang tiada
bandingannya. Karena memang dari awal aku suka dan sekarang aku sayang banget
sama Mas Radit. Akhirnya kuputuskan untuk mengatakan IYA atas semua permintaan
Mas Radit tentang kesungguhannya denganku.
Komentar
Posting Komentar