Sudah bukan hal baru lagi jika anak-anak muda jaman sekarang mulai tidak banyak yang lihai memakai bahasa Jawa yang banyak jenisnya itu. Kami, lah kok kami, saya saja lah. Saya, yang dari SD belajar Bahasa Jawa sampai Aliyah, masih saja grotal-gratul (belum lancar) jika hendak berbicara dengan orang yang lebih tua, karena secara etika ketika anak muda berbicara dengan orang yang lebih tua hendaknya menggunakan Bahasa Jawa tipe "Krama Inggil". Ya, saya katakan tipe karena Krama Inggil adalah salah satu jenis pembagian dari Bahasa Jawa sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang diajak berbicara.
Untuk teman-teman yang bukan orang Jawa mungkin bingung maksudnya bagaimana. Jadi, Bahasa Jawa memiliki beberapa bahasa yang digunakan sebagai cara komunikasi sekaligus sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang diajak bicara. Pembagian Bahasa Jawa ada 3 macam, yaitu Boso Ngoko (biasa digunakan ketika berbicara dengan orang yang seumuran, orang tua kepada yang lebih muda, dan dengan sahabat karib), yang kedua yaitu Boso Madya (untuk yang ini jarang banget dipakai, saya juga belum tahu bahasa ini dipakai ketika apa, nanti bisa digali lebih dalam lagi dari berbagai sumber), yang ketiga yaitu Boso Kromo (digunakan untuk berbicara kepada orang yang lebih tua, orang yang baru dikenal, atau kepada orang yang pangkat dan jabatan lebih tinggi).
Untuk jenis Boso Ngoko sendiri, adalah bahasa keseharian yang paling sering digunakan. Jadi hampir tidak ada kesulitan untuk diterapkan, karena sudah menjadi bahasa sehari-hari. Boso Ngoko pun nanti dibagi lagi, ada Ngoko Lugu dan Ngoko Andhap. Tambah pusing lagi kan ya, banyak banget macamnya. Saya kurang tahu untuk perbedaan dari keduanya karena tidak terlalu mencolok perbedaannya. Untuk contoh per katanya tidak saya share di sini, silakan googling sendiri ya. Karena kalau per kata saya tulis contohnya, nanti akan panjang tulisan saya.
Untuk jenis Boso Krama, ini yang sering menjadi momok terbesar pemuda Jawa yang jarang srawung (sosialisasi) dengan masyarakat sekitarnya. Jika sudah terbiasa srawung dengan masyarakat, pasti sudah sering menggunakan Boso Krama sehingga lidahnya sudah lanyah (lancar) dalam berkrama ria. Oiya, untuk Boso Krama dibagi menjadi 6 macam, Krama Lugu, Mudha Krama, Wredha krama, Krama inggil, Krama desa, Basa Kedathon. Tapi yang sering dipelajari di sekolah hanya Krama Lugu dan Krama Inggil. Untuk tingkatan tertinggi Krama yaitu Krama Inggil. Bahasanya paling halus dan berbeda dengan Boso Ngoko tadi. Detail tentang ragam Bahasa Jawa ini saya peroleh dari google, karena buku Pepak Bahasa Jawa saya sudah nggak karuan di mana naruhnya. Hehe
Sebagai pemuda yang jarang srawung dengan orang tua, saya merasa kemampuan penggunaan Boso Krama Inggil saya di bawah rata-rata. Karena ketika berinteraksi dengan guru di sekolah, lebih sering memakai Bahasa Indonesia, dan ketika di rumah pun saya tidak terbiasa ber Kromo Inggil kepada orang tua. Sebenarnya jika dipaksa untuk membiasakan penggunaan Boso Krama Inggil kepada orang tua, pasti pemuda macam saya sudah lihai dan tidak pekewuh jika diajak ngobrol orang-orang tua. Hal tersebut sesuai petuah Dzawinur, komika yang suka naik gunung itu lho ya, katanya orang menjadi bisa karena dipaksa, kemudian terbiasa dipaksa, bisa, dan akhirnya luar biasa.
Alasan saya menulis begini, karena ada kejadian yang cukup memalukan kemarin sore di acara pengajian teman saya. Saya satu-satunya peserta pengajian yang masih muda selain teman saya tersebut. Seperti biasa, ibu-ibu berkumpul dengan formasi melingkar, alhasil kanan kiri saya adalah ibu-ibu yang saya tidak kenal semuanya. Tak lama, untuk basa-basi, ibu sebelah kiri saya bertanya, "Mbak saudaranya Ibu Hafsah ya?" Masih memakai Bahasa Indonesia karena mungkin jika saya saudaranya Ibu Hafsah (ibu teman saya), jika diajak ngobrol Boso Krama nggak akan paham, karena Ibu teman saya tersebut bukan asli orang Jawa. Saya jawab, "Mboten, kulo rencange Mbak Mirza, yang sedang 4 bulanan ini Bu." Bahasa yang saya pakai campuran, dan ini menurutku biasa karena ibuknya juga bertanya menggunakan Bahasa Indonesia. Kemudian ibuknya balik bertanya, "Oh, lha Mbaknya sampun krama napa dereng?" Saya bingung dengan arti "krama" yang dimaksud ibu tersebut, karena kurang familiar dengan kata "krama". Saya tanya balik, "Ngapunten, Bu, krama niku napa nggih?" Si ibu tertawa kemudian, "Oalah..Mbak e mboten ngertos krama to, krama niku nikah, Mbak. Wah..niki pelajaran Bahasa Jawa mesti nggak nggatekne." Sambil masih tertawa. Saya malu banget, tapi tetep senyum kecut, "Ohh...kulo dereng ngertos, Bu." Jawab saya malu banget. Kemudian ibu sebelah ibu tadi bertanya, "Nyapo to?" "Iki lho mbak e gak ngerti tak takoki mpun krama napa dereng." Kemudian tertawalah beliau berdua.
Bisa dibayangkan betapa malunya kan ya, karena kebetulan kejadian di sebuah acara ibu-ibu. Jadi malunya tak hanya karena nggak tahu Bahasa Krama Inggil, tapi juga karena banyak ibu-ibu lain yang tahu akan ketidaktahuan saya. Saat itu juga saya kepikiran begini, anggap saja ibu tersebut adalah mertua saya nanti. Kalau saya nggak bisa berkrama inggil, bisa dibayangkan betapa malunya kan ya, masa iya bahasa yang kita gunakan untuk ngobrol dengan mertua bahasa campuran, Krama campur Indonesia. Hahaha..bisa-bisa mertua meragukan akhlak kesopanan kita. Ya nggak, sih? Duh, di umur 25 yang menginjak 26 beberapa bulan lagi hal tersebut cukup membuat gundah gulana. Solusinya ada dua, perbaiki lagi kemampuan berbahasa Krama Inggil atau berdoa semoga mendapat mertua yang moderat dan demokratis, jadi bisa memaklumi jika masih kurang terbiasa berkrama. Hahaha...
Saran saya untuk teman-teman yang bernasib sama seperti saya, semoga sedikit saja, tingkatkan terus kemampuan berbahasa jawa yang halus, biasakan berkomunikasi dengan orang rumah terlebih dahulu, karena orang terdekat akan mengoreksi jika ada kesalahan. Dengan begitu kemampuan berbahasa pasti akan lebih baik. Sehingga tak ada rasa canggung, was-was, khawatir, atau bahkan terjadi hal memalukan seperti kejadian saya di atas. Mengutip apa yang pernah disampaikan oleh pakar Bahasa Indonesia, Ivan Lanin, "Utamakan Bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, kuasai bahasa asing." Semoga kita bisa mengamalkan pesan Uda Ivan tersebut. Aamiin
Komentar
Posting Komentar